PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2012
TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA
LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka penataan unit pelaksana teknis di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi Kementerian Negara;
4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
5. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor: PER/18/M.PAN/11/2008 tentang Pedoman Organisasi Unit Pelaksana Teknis Kementerian dan Lembaga Pemerintah Nonkementerian;
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
2
Memperhatikan : Persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan surat Nomor B/3139/M.PAN-RB/12/2011 tanggal 30 Desember 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN.
BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI
Pasal 1
(1) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya dalam Peraturan ini disebut LPMP, adalah unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
(2) LPMP dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.
Pasal 2
LPMP mempunyai tugas melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah di provinsi berdasarkan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPMP menyelenggarakan fungsi:
a. pemetaan mutu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah;
b. pengembangan dan pengelolaan sistem informasi mutu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah;
c. supervisi satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah dalam pencapaian standar mutu pendidikan nasional;
d. fasilitasi peningkatan mutu pendidikan terhadap satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah dalam penjaminan mutu pendidikan;
e. pelaksanaan kerja sama di bidang penjaminan mutu pendidikan; dan
f. pelaksanaan urusan administrasi LPMP.
BAB II
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 4
LPMP terdiri atas:
a. Kepala;
b. Subbagian Umum;
c. Seksi Sistem Informasi;
d. Seksi Pemetaan Mutu dan Supervisi;
e. Seksi Fasilitasi Peningkatan Mutu Pendidikan; dan
f. Kelompok Jabatan Fungsional.
3
Pasal 5
(1) Subbagian Umum mempunyai tugas melakukan urusan perencanaan, program, anggaran, kepegawaian, ketatalaksanaan, ketatausahaan, dan kerumahtanggaan LPMP.
(2) Seksi Sistem Informasi mempunyai tugas melakukan pengembangan dan pengelolaan sistem informasi mutu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah.
(3) Seksi Pemetaan Mutu dan Supervisi mempunyai tugas melakukan pemetaan mutu dan supervisi satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah dalam pencapaian standar mutu pendidikan nasional.
(4) Seksi Fasilitasi Peningkatan Mutu Pendidikan mempunyai tugas melakukan fasilitasi dan kerja sama peningkatan mutu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah dalam pencapaian standar mutu pendidikan nasional.
Pasal 6
(1) LPMP yang berlokasi di Sulawesi Barat terdiri atas:
a. Kepala;
b. Subbagian Umum;
c. Seksi Sistem Informasi dan Pemetaan Mutu;
d. Seksi Supervisi dan Fasilitasi Peningkatan Mutu Pendidikan; dan
e. Kelompok Jabatan Fungsional.
(2) Subbagian Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mempunyai tugas melakukan urusan perencanaan, program, anggaran, kepegawaian, ketatalaksanaan, ketatausahaan, dan kerumahtanggaan LPMP.
(3) Seksi Sistem Informasi dan Pemetaan Mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mempunyai tugas melakukan pengembangan dan pengelolaan sistem informasi serta pemetaan mutu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah.
(4) Seksi Supervisi dan Fasilitasi Peningkatan Mutu Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d mempunyai tugas melakukan supervisi, fasilitasi, dan kerja sama peningkatan mutu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah dalam pencapaian standar mutu pendidikan nasional.
Pasal 7
(1) Kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f dan Pasal 6 huruf e mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan tugas jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Kelompok jabatan fungsional terdiri atas sejumlah jabatan fungsional yang terbagi dalam kelompok sesuai bidang kegiatannya.
(3) Setiap kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh pejabat fungsional yang ditunjuk oleh dan bertanggung jawab kepada Kepala LPMP.
(4) Jenis dan jumlah jabatan fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja.
(5) Tugas, jenis dan jenjang jabatan fungsional diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4
BAB III
ESELONISASI
Pasal 8
(1) Kepala LPMP adalah jabatan struktural eselon III.a.
(2) Kepala Subbagian dan Kepala Seksi adalah jabatan struktural eselon IV.a.
BAB IV
NOMENKLATUR, LOKASI, DAN WILAYAH KERJA
Pasal 9
Nomenklatur, lokasi, dan wilayah kerja LPMP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB V
TATA KERJA
Pasal 10
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 LPMP berkoordinasi dengan unit organisasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, dan perguruan tinggi.
Pasal 11
Setiap unit kerja membantu Kepala LPMP dalam melaksanakan tugas di bidang tugasnya masing-masing.
Pasal 12
Setiap pimpinan satuan organisasi dan kelompok jabatan fungsional dalam melaksanakan tugasnya wajib:
a. menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi serta kerja sama yang baik di lingkungan internal maupun eksternal LPMP;
b. melaksanakan akuntabilitas kinerja;
c. melaporkan kegiatan yang menjadi tangggung jawabnya kepada atasan secara berjenjang.
Pasal 13
Setiap pemimpin unit kerja wajib mengawasi bawahannya masing-masing dan apabila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Setiap pemimpin satuan organisasi di lingkungan LPMP bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahannya masing-masing dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan.
5
Pasal 15
Setiap pemimpin satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk, bertanggung jawab kepada atasannya masing-masing, dan menyampaikan laporan secara berkala tepat waktunya.
Pasal 16
Setiap laporan yang diterima oleh pemimpin satuan organisasi dari bawahan wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk kepada bawahan.
Pasal 17
Dalam melaksanakan tugasnya setiap pemimpin satuan organisasi dibantu oleh kepala unit kerja di bawahnya dan dalam rangka pemberian bimbingan kepada bawahan masing-masing wajib mengadakan rapat berkala.
Pasal 18
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Kepala LPMP wajib menyampaikan laporan kepada Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan dengan tembusan kepada pimpinan unit organisasi yang secara fungsional mempunyai hubungan kerja dengan LPMP.
Pasal 19
Kepala LPMP menyampaikan hasil pemetaan mutu pendidikan dasar dan pendidikan menengah, pendidikan kesetaraan pendidikan dasar dan menengah serta supervisi dan fasilitasi sumberdaya pendidikan terhadap satuan pendidikan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 20
Rincian tugas unit kerja sebagai penjabaran tugas dan fungsi dalam Peraturan Menteri ini ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Semua tugas dan fungsi sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan masih tetap dilaksanakan sampai dengan ditetapkannya tugas dan fungsi berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
6
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
Perubahan organisasi dan tata kerja yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
Pasal 24
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2012
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
MOHAMMAD NUH
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juni 2012
LPMP Bali
Wednesday, January 9, 2013
orientasi baru
ORIENTASI
BARU PENDIDIKAN:
PERLUNYA
REORIENTASI POSISI PENDIDIK
DAN
PESERTA DIDIK
I Ketut Suarnaya
Pendidikan
pada hakekatnya merupakan suatu proses pemberdayaan yaitu membebaskan individu
dari kungkungan suatustruktur kekuasaan yang terpusat, yang menginjak-nginjak
hak asasi manusia, yang membangun suatu struktur kekuasaan yang hanya menguntungkan
sekelompok kecil masyarakat yang menyengsarakan rakyat banyak. Oleh karena itu,
keinginan untuk terus mempertahankan pedagogi dalam paradigma sempit harus
dikaji ulang, dan sesegera mungkin dilakukan perubahan orientasi ke arah
pedagogik kritis atau pedagogik pemberdayaan. Pedagogik kritis merupakan
rekayasa pemikiran yang berupaya menyempurnakan pedagogik yang selama ini kita
kenal sebagai pedagogik dalam paradigma sempit, yaitu pedagogic yang cenderung
melihat persoalan pendidikan semata-mata sebagai
masalah-masalah
teknik di dalam kelas. Padahal pendidikan bukanlah semata-mata pembelajaran,
namun pendidikan sangat berkaitan pula dengan seluruh aspek kehidupan manusia
di dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya sekedar membuat peserta didik
pandai menghapal tetapi yang lebih penting ialah menjadikannya sebagai manusia,
pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses
hominisasi dan proses humanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat
yang berbudaya kini dan masadepan. Oleh karena itu, perubahan paradigma ini pun
tentu berimplikas ipada perlunya reposisi pendidik dan peserta didik dalam
proses pendidikan dan pembelajaran. Kata Kunci: Pedagogik
sempit, pedagogik hitam, pedagogik kritis,pedagogi pemberdayaan, reorientasi,
peserta didik, pendidik.
Pendahuluan
Reformasi
pendidikan merupakan suatu reformasi tingkahlaku yang dengan sendirinya meminta
waktu dan usaha yang ulet. Pendidikan yang merupakan aspek dari kebudayaan
tidak mudah untuk diubah sebagaimana kebudayaan itu sendiri sulit untuk diubah
dalam sekejap mata. Oleh sebab itu, reformasi pendidikan haruslah bertahap
dengan memperhitungkan berbagai potensi, kelemahan, kekuatan, dan kemungkinan
yang terbuka.
Dengan
demikian reformasi pendidikan menuntut adanya perencanaan yang matang dan
persiapan yang cukup serta ditopang oleh sumber-sumber yang memadai termasuk
komitmen politik masyarakat. Di dalam membangun masyarakat Indonesia baru,
masalah-masalah kritis pendidikan yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia
dalam jangka menengah antara lain sebagai berikut: (1) pendidikan yang mengembangkan
nilai-nilai demokrasi; (2) pengembangan hak asasi manusia; (3) pemberantasan
kemiskinan; (4) pelaksanaan otonomi daerah dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan.
Dalam
pengembangan nilai-nilai demokrasi melalui pendidikan berarti nilai-nilai
tersebut haruslah menjiwai di dalam seluruh kegiatan pendidikan termasuk
sistemnya, kurikulumnya, dan metodologi yang digunakan. Praktek-praktek
pendidikan yang indoktrinatif tidak sesuai
dengan
tujuan tersebut, juga kurikulumnya yang sangat sentralistik dan mematkan
potensi individu. Proses belajar mengajar yang mematikan inisiatif dan berpikir
kreatif peserta didik sudah tidak lagi pada tempatnya. Pendidikan berarti suatu
proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-hak asasii manusia. Anak
didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu di dalam proses
pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Selain itu
pendidikan merupakan hak asasi manusia, oleh karena itu pemerataan pendidikan
haruslah dilaksanakan secara konsekuen. Pemerataan pendidikan berkaitan dengan
kemiskinan,dan oleh sebab itu kemiskinan merupakan priorotas yang perlu ditanggulangi
sejalan dengan pelaksanaan pemerataan itu sendiri.Itulah pendidikan, yang pada
hakekatnya merupakan suatu proses pemberdayaan yaitu membebaskan individu dari
kungkungan suatu struktur kekuasaan yang terpusat, yang menginjak-nginjak hak
asasi manusia, yang membangun suatu struktur kekuasaan yang hanya menguntungkan
sekelompok kecil masyarakat yang menyengsarakan rakyat banyak. Pedagogik
pembebasan ialah pedagogik yang memberdayakan peserta didik dalam rangka
membangun masyarakat Indonesia baru.
Dari
Pedagogik Sempit Menuju Pedagogik Kritis
Pedagogik
kritis merupakan rekayasa pemikiran yang berupaya menyempurnakan pedagogik yang
selama ini kita kenal sebagai pedagogik dalam paradigma sempit atau pedagogi
hitam dalam istilah Kurt Singer, yaitu pedagogik yang cenderung melihat
persoalan pendidikan semata-mata sebagai masalah-masalah teknik di dalam kelas.
Padahal pendidikan bukanlah semata-mata pembelajaran, namun pendidikan sangat
berkaitan pula dengan seluruh aspek kehidupan manusia di dalam
masyarakat.Pendidikan bukan hanya sekedar membuat peserta didik pandai
menghapal tetapi yang lebih penting ialah menjadikannya sebagai manusia, atau
dalam istilah Driyakarya, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Pendidikan
adalah proses hominisasi dan proses humanisasi seseorang dalam kehidupan
keluarga, masyarakat yang berbudaya kini dan masa depan (Tilaar, 2000:40).
Dengan rumusan tersebut, maka pandangan yang sempit mengenai pendidikan akan
sulit berfungsi di dalam membangun masyarakat Indonesia baru yang demokratis
dan bermoral. Dalam perkembangannya, aliran-aliran pedagogik dapat diidentifikasi
menjadi lima aliran besar. Aliran-aliran tersebut memiliki pandangannya sendiri
mengenai masa kini dan masa depan masyarakat yang diinginkan. Pertama, aliran
fungsionalisme dengan tokohnya Durkheim dan
Parsons.
Menurut aliran ini, fungsi pendidikan masa kini adalah transmisi kebudayaan dan
mempertahankan tatanan sosial yang ada. Masa depannya dipersiapkan denan
mengajarkan fungsi-fungsi dalam masyarakat masa depan. Kedua, aliran
kulturalisme dengan tokohnya Brameld dan Ki Hajar Dewantara, melihat fungsi
pendidikan masa kini sebagai upaya untuk
merekonstruksi
masyarakat. Masyarakat memiliki masalah-masalah yangdihadapi dan upaya
pendidikan adalah untuk mengatsi masalah-masalah tersebut seperti identitas
bangsa, benturan kebudayaan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi
pendidikan ialah menata masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang
universal dengan berdasarkan budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan
nansional dan kebudayaan global seperti teori Trikon dari Ki Hadjar
Dewantara. Ketiga, aliran kritikal dengan tokoh-tokohnya Marx, Bowless, Freire,
Gyroux, Vygotsky. Bagi aliran kritikalyang terbagi atas penganut teori konflik
seperti Marx, Bowels, juga yang menganut teori kritikal seperti Freire, Gyrous,
dan Vygotsky. Masa kini fungsi pendidikan dilihat sebagai reproduksi tatanan
ekonomi yang sedang berjalan. Sedangkan bagi Freire, Gyroux, dan Vygotsky
fungsi pendidikan ialah memberdayakan kaum tertindas (the oppressed). Pembangunan
masyarakat masa depan bagi
pedagogik
kritikal ditekankan pada pembinaan pemerataan ekonomi dan perjuangan kelas
seperti Marx, atau mengembangkan keaksaraan kritikal (critical literacy) bagi
rakyat banyak.
Keempat,
aliran
interpretatif dengan tokohnya Bernstein. Menurut aliran ini tugas pendidikann
adalah mengajarkan berbagai peran dalam masyarakat melalui program-program
dalam kurikulum. Sedangkan untuk masa depan penndidikan berfungsi untuk
menghilangkan berbagai bias budaya dan kelas-kelas sosial yang membedakan
antara kelompok elit dan rakyat jelata yang miskin. Kelima, aliran pasca
modern dengan tokoh-tokohnya Derrida, Faoucault dan Gramsci. Aliran ini sangat
populer dan pikiran-pikiran Derrida, Fsoucault dan Gramsci yang ekstrem cukup
mendominasi aliran ini. Menurut aliran ini, fungsi pendidikan ialah membina
pribadi-pribadi yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya
sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu
yang kreatif dan berfikir bebas termasuk berpikir produktif. Aliran-aliran
pedagogik kritis di atas memiliki suatu kesamaan dalam pembahasannya yakni
pemberdayaan individu. Inilah inti darimasyarakat demokratis. Sudah tentu
aliran-aliran pedagogik kritis di atas memiliki keterbatasan. Sebagaimana yang
diingatkan oleh Amitai Etzioni kebebasan atau otonomi individu bukanlah otonomi
tanpa batas tetapi otonomi di dalam keseimbangan dan tatanan sosial yang
terkait kepada pengakuan akan nilai-nilai inti (core values) yang diakui
bersama. Fungsi pendidikan di dalam masyarakat Indonesia baru ialah bukan
pendidikan yang memupuk individualisme yang egoistik, tetapi individu yang berkemban
potensinya sehingga dapat disumbangkan sebesar-besarnya bagi kepentingan
bersama. Itulah individu yang hidup di dalam masyarakat madani Indonesia, yang
memiliki identitas sebagai orang Indonesia sekaligus sebagai manusia yang hidup
damai dengan sesama umat manusia di planet bumi ini. Dengan sendirinya
pendidikan untuk perdamaian dunia (world space) merupakann salah satu
agenda di dalam pendidikan membangun masyarakat Inndonesia baru yaitu
masyarakat madani Indonesia.
Orientasi
Ke Pendidik
Mengajar
(teaching) merupakan kata yang sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah
proses pendidikan, mengajar pulalah yang memperoleh kritik pedas dari Paulo
Freire dengan model pembelajaran pasif, yakni pendidik menerangkan, peserta
didik mendengarkan, pendidik mendiktekan, peserta didik mencatat, pendidik
bertanya, peserta didik menjawab, dan seterusnya. Kenyataan seperti ini
diistilahkan Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank (banking
system), yakni pendidikan model deposito, pendidik sebagai deposan
yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai pengalamannya kepada peserta
didik, sedangkan peserta didik hanya menerima, mencatat dan menyimpan semua
informasi yang disampaikan pendidik. Pendidikan gaya bank tersebut merupakan
model penindasan terhadap para peserta didik, karena menghambat kreativitas dan
pengembangan potensi peserta didik (Elias, 1994:113 dalam Rosyada, 2004:89). Pembelajaran
model di atas, oleh Muska Mosston kadangkala disebut sebagai pendidikan gaya
komando (command style), yang mengembangkan prinsip distribusi
sebuah keputusan harus dilakukan secara hirarkis, dari atas ke bawah, dari
guru/pendidik kepada peserta didik(Mosston, 1972:35). Dalam pembelajaran gaya
komando, semua perencanaan ditentukan oleh guru/pendidik, disampaikan pada
peserta didik, dan peserta didik menerima pelajaran baru. Akan tetapi mereka
tidak terlibat dalam proses analisis untuk penerapan pengalaman baru tersebut
pada
konteks
kehidupan lain, dan lebih jauh lagi, mereka juga tidak terlibat dalam pembahasan
feed back buat guru/pendidik. Pembelajaran gaya komando merupakan salah
satu bentuk akhir polarisasi aliran behaviorisme, yang kemudian memperoleh
kritik karena mematikan semangat demokratisasi dan membunuh kreativitas peserta
didik, tidak menghargai peserta didik, dan kurang menghargai keragaman peserta
didik (Mosston, 1972:43). Sekaitan dengan hal di atas, kemudian berkembang
model task style, yakni belajar dengan memperbanyak penugasan, yang
berikutnya diikuti oleh model reciprocal style, yakni belajar antara
model penugasan dan instruksional, dan disusul kemudian dengan kemunculan
berbagai model seperti collaborative and cooperative learning yang
dikembangkan oleh aliran psikologi developmental, yang menekankan pada
aktivitas siswa dan dibantu oleh guru atau pendidik.
Dalam
konteks aliran ini jelas bahwa kedudukan guru atau pendidik dalam suatu proses
pembelajaran bukan lagi sebagai pusat atau sumber dari segala sumber, tetapi
lebih diposisikan sebagai mitra yang bertugas membantu dan menfasilitasi
peserta didik belajar. Mengenai kedudukan guru atau pendidik dalam suatu proses
pembelajaran memang memiliki perjalanan historis cukup panjang mengikuti
perkembangan pemikiran yang melahirkan teori tentang belajar. Reposisi
kedudukan guru atau pendidik dalam suatu proses pembelajaran mengalami
perubahan seiring dengan bergesernya definisi dan paradigm belajar dan
pembelajaran. Di awal paruh kedua abad ke-20, mengajar masih diartikan sebagai
sebuah proses pemberian bimbingan dan memajukan pembelajar peserta didik yang
semuanya dilakukan dengan berpusat pada peserta didik (Kochhar, 1967:24).
Pandangan paedagogis di atas sesungguhnya sudah berkembang menuju model
pendidikan yang berpusat pada peserta didik, hanya keterlibatan dan pendidik
dalam proses pembelajaran masih sangat besar. Inilah bagian-bagian yang
kemudian banyak dikritik oleh para ilmuwan pendidikan di akhir abad ke-20,
dengan memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada peserta didik untuk
belajar. Dari beberapa pandangan tentang pembelajaran diatas, definisi terkini
tentang mengajar dan membelajarkan sudah sangat berbasis pada peserta didik,
guru/pendidik hanya mengambil peran dalam perancangan untuk memberi peluang
pada para peserta didik mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi
berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya,
dan telah menjadi kesepakatankesepakatan kelas bersama dengan guru atau
pendidiknya. Seiring denganperkembangan dan kemajuan tersebut, tampaknya
paradigma behaviorisme sudah mulai dikritik dengan dikembangkannya
aliran construktivism sebagai aliran dari psikologi kognitif (Kauchak,
1998:6). Aliran behaviorisme
memandang
bahwa belajar adalah mengubah perilaku peserta didik dari tidak bisa menjadi
bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan tugasguru/pendidik adalah
menontrol stimulus dan lingkungan belajar agarperubahan mendekati tujuan yang
diinginkan, dan guru pemberi hadiah atau hukuman pada peserta didik, yakni
hadiah diberikan kepada peserta didik yang telah mampu memperlihatkan perubahan
bermakna, sedangkan hukuman diberikan kepada peserta didik yang tidak
memperlihatkan perubahan bermakna. Karena itu, aliran behaviorism meletakkan
proses reinforcement dalam posisi amat penting bagi peserta didik untuk
mencapai perubahan yang diinginkan. Sedangkan aliran psikologi kognitif memandang
bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai strategi untuk mencatat dan
memperoleh berbagai informasi, peserta didik harus aktif menemukan informasi informasi
tersebut, dan guru/pendidik bukan mengontrol stimulus, tetapi menjadi partner
peserta didik dalam proses penemuan berbagai informasidan makna-makna dari
informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang mereka bahas dan kaji bersama
(Kauchak, 1998:6). Aliran constructvism yang dikembangkan dari psikologi
kognitif ini menekankan teorinya bahwa peserta didik amat berperan dalam
menemukan ilmu baru. Konstruktivisme adalah aliran yang mengembangkan pandangan
tentang belajar yang menekankan pada empat komponen kunci, yaitu: a. Peserta
didik membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena
disampaikan kepada mereka. b. Pelajaran baru sangat bergantung pada pelajaran
sebelumnya. c. Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial. d.
Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses
pembelajaran (Kauchak, 1998:7). Meski memiliki sedikit perbedaan, teori-teori
belajar yang berbasis pada teori humanistik tetap memaknasi pembelajaran
sebagai proses yang berpusat pada peserta didik, guru/pendidik bertugas
membantu bukan mengarahkan seperti halnya pada teori belajar psikologi
kognitif. Hanya saja aliran psikologi kognitif lebih menambah fungsi
guru/pendidik sebagai pembimbing peserta didik dalam belajar bereksplorasi dan
bereksperimen (Mudyahardjo, 1998:7). Mengenai peran guru atau pendidik ini, di
banyak tempat di sekolah sekolah di Amerika, guru/pendidik melakukan transaksi
kurikulum dengan para peserta didiknya, yakni guru/pendidik menawarkan berbagai
kompetensi kepada peserta didik, dan peserta didik memilih serta menentukan
sendiri apa yang akan mereka pelajari dengan gurunya. Implikasi dari transaksi
tersebut, adalah kajian dari peserta didik di antara sesama mereka untuk
menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akan mereka pelajari dalan satu
masa tertentu. Inilah yang oleh Aldridgedisebut curriculum as transaction
and curriculum as inquiry (Aldridge,2002:77).
Orientasi
Ke Peserta Didik
dehumanisasi,
meskipun merupakan fakta sejarah yang konkret, bukanlah takdir yang turun dari
langit, tetapi akibat tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari
tangan-tangan para penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum
tertindas (Freire, 1968:28). Ungkapan Freire di atas mempertegas
perbedaan-perbedaan pedagogis pokok antara conscientizacao dan
bentuk-bentuk pendidikan lainnya. Conscientizacao bukanlah teknik untuk
transfer informasi, atau bahkan untuk pelatihan keterampilan, tetapi merupakan
proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk
memecahkan masalah-masalah eksistensial mereka. Conscientizacao mengemban
tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur
dan kebijakan baru. Pembebasan bermakna transformasi atas sebuah system realitas
yang saling terkait dan kompleks, serta reformasi beberapa individu untuk
mereduksi konsekuensi-konsekuensi negatif dari perilakunya. Perbedaan-perbedaan
pedagogis pokok antara conscientizacao dan
bentuk-bentuk
pendidikan lainnya adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam conscientizacao
tidak memiliki jawaban yang telah diketahui sebelumnya. Pendidikan bukanlah
pengeoragnisasian fakta yang sudah diketahui sedemikian rupa sehingga orang
bodoh melihatnya sebagai sesuatu yang baru. Pendidikan tidak hanya mengajarkan
materi kepada peserta didik, tetapi merupakan pencarian jawaban secara
kooperatif atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh
sekelompok orang. Setiap individu memiliki kebenaran yang sama, tetapi berbeda
dalam hal cara melihat persoalan yang harus didefinisikan dan cara mencari jawabannya
yang harus diformulasikan. Partisipasi bukanlah merupakan sebuah alat
pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses pendidikan.
Didasari
oleh pikiran-pikiran Freire tentang conscientizacao dan pendidikan
pembebasan bagi kaum tertindas, sangat tepat apabila memposisikan peserta didik
dalam kapasitas individu yang memiliki kebebasan untuk berkespresi,
mengembangkan potensi kreatifnya, dan pengembangan kapasitas intelektualnya.
Peserta didik harus ditempatkan sebagai pusat (center) dari aktivitas
pendidikan dan pembelajaran. Guru/penddik merupakan fasilitator, pembimbing
yang menjadi mitra didik peserta didik di dalam kegiatan pembelajaran. Itulah
pedagogik pembebasan (Tilaar, 2000:44), ialah pedagogik yang memberdayakan peserta
didikdalam rangka membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Dalam
koteks ini, pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu perlu
dihormati hak-hak asasi manusia. Anak didik bukanlah robot tetapi manusia yang
harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan
berpikir kristis. Sekaitan dengan itu, proses pendidikan dan pembelajaran harus
diarahkan agar potensi yang ada pada peserta didik dapat dikembangkan seoptimal
mungkin sesuai dengan fitrahnya, peserta didik dapat menyumbangkan kemampuannya
untuk pengembangan dirinya,pengembangan masyarakat, dan seterusnya untuk
negaranya, serta kehidupan umat manusia pada umumnya. Di dalam proses
pemberdayaan peserta didik tentunya diperlukan berbagai prasyarat serta prasarana
di dalam melaksanakannya. Yang utama, tentunya lingkungan kehidupan
peserta didik harus memberikan kesempatanuntuk pengembangan potensinya.
Lingkungan tersebut hendaknya
memberikan
kesempatan kepada perkembangan peserta didik agar dia tidak terkungkung atau
dibatasi dalam suatu tujuan yang telah direkayasakan.Berilah kesempatan kepada
peserta didik untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya.
Dengan demikian tidak hanya lingkungan yang merupakan sumber daya pendidikan
yang harus diperkaya, tetapi jugamanajemen serta para pelaksana proses
pendidikan tersebut haruslah sesuaidengan tuntutan kemerdekaan dan hak asasi
yang ada dalam peserta didik Sistem pendidikan yang demikian adalah sistem
pendidikan yang diarahkan kepada pemberdayaan peserta didik. Pemberdayaan
tersebut haruslahmerupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sehingga
lingkungan mengkondisikan terbentuknya sikap yang produktif dari peserta didik.
Pedagogik pembebasan yang berkembang akhir-akhir ini tidak lain adalah proses
pendidikan yang memberdayakan peserta didik, masyarakat, juga negara, yang
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pribadipribadi yang bebas dari
segala jenis opperesive, baik penindasan ekonomis, politik, maupun
psikis. Intinya, menurut Andrias Harefa (2004:67), visi dasar atau tujuan umum
proses pendidikan dan pembalajaran pada esensinya adalah mendampingi manusia
sedini mungkin untuk secara bertahap memanusiakan dirinya agar menjadi dewasa
dan mandiri, dan kemudian membina hubungan saling bergantung, dalam proses
mengaktualisasikan seluruh potensinya menjadi manusia seutuhnya (fully
human). Pandanganpandangan mengenai kedudukan peserta didik di dalam proses
pembelajaran juga dipertegas oleh teori-teori belajar yang banyak mengkritik
teori behaviorisme yang dituduh mematikan kreativitas peserta didik. Misalnya saja,
teori belajar humanistik memandang bahwa bentuk pengelolaan pembelajaran
berpusat kepada peserta didik dalam pengertian peserta didik bebas memilih,
guru atau pendidik hanya berfungsi sebagai pembantu bukan.pembimbing. Demikian
pula pandangannya tentang partisipasi, menurut aliran ini partisipasi aktif
dari peserta didik diutamakan dan anak belajar dengan bekerja.
Kesimpulan
Adanya
kesadaran kolektif untuk menggiring pendidikan ke arah yang lebih baik, telah
banyak melahirkan gagasan baru, yang salah satunya adalah pemikiran perlunya
orientasi baru dalam pendidikan. Setidaknya dalam perpektif penulis, orientasi
yang dimaksud adalah perlunya mengubah paradigma pedagogi dari yang bersifat
klasik dan sempit menuju pedagogik kritis. Pedagogik kritis merupakan rekayasa
pemikiran yang berupaya menyempurnakan pedagogik yang selama ini kita kenal
sebagai pedagogik dalam paradigma sempit, yaitu pedagogik yang cenderung melihat
persoalan pendidikan semata-mata sebagai masalah-masalah teknik di dalam kelas.
Padahal pendidikan bukanlah semata-mata pembelajaran, namun pendidikan sangat
berkaitan pula dengan seluruh aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat.
Pendidikan bukan hanya sekedar membuat peserta didik pandai menghapal tetapi
yang lebih penting ialah menjadikannya sebagai manusia, pendidikan merupakan
proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses hominisasi dan
proseshumanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya
kini dan masa depan. Oleh karena itu, perubahan paradigma ini pun tentu
berimplikasi pada perlunya reposisi pendidik dan peserta didik dalam proses
pendidikan dan pembelajaran.
Daftar
Pustaka
Adiwikarta,
S. (1988). Sosiologi Pendidikan: Isyu Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan
dengan Masyarakat. Jakarta: Departemen P dan K.
Harefa,
A. (2004). Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas.
Nasution,
S. (1995). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Rosyada,
D. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model
Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Slavin,
RE. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, And Practice. New
York: Allen and Bacon.
Smith,
WA. (2001). Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogjakarta:
Pustaka Pelajar.
Tilaar,
HAR. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar,
HAR. (2000). Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Subscribe to:
Posts (Atom)