Wednesday, January 9, 2013

orientasi baru


ORIENTASI BARU PENDIDIKAN:
PERLUNYA REORIENTASI POSISI PENDIDIK
DAN PESERTA DIDIK
I Ketut Suarnaya

Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses pemberdayaan yaitu membebaskan individu dari kungkungan suatustruktur kekuasaan yang terpusat, yang menginjak-nginjak hak asasi manusia, yang membangun suatu struktur kekuasaan yang hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat yang menyengsarakan rakyat banyak. Oleh karena itu, keinginan untuk terus mempertahankan pedagogi dalam paradigma sempit harus dikaji ulang, dan sesegera mungkin dilakukan perubahan orientasi ke arah pedagogik kritis atau pedagogik pemberdayaan. Pedagogik kritis merupakan rekayasa pemikiran yang berupaya menyempurnakan pedagogik yang selama ini kita kenal sebagai pedagogik dalam paradigma sempit, yaitu pedagogic yang cenderung melihat persoalan pendidikan semata-mata sebagai
masalah-masalah teknik di dalam kelas. Padahal pendidikan bukanlah semata-mata pembelajaran, namun pendidikan sangat berkaitan pula dengan seluruh aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya sekedar membuat peserta didik pandai menghapal tetapi yang lebih penting ialah menjadikannya sebagai manusia, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses hominisasi dan proses humanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya kini dan masadepan. Oleh karena itu, perubahan paradigma ini pun tentu berimplikas ipada perlunya reposisi pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Kata Kunci: Pedagogik sempit, pedagogik hitam, pedagogik kritis,pedagogi pemberdayaan, reorientasi, peserta didik, pendidik.

Pendahuluan
Reformasi pendidikan merupakan suatu reformasi tingkahlaku yang dengan sendirinya meminta waktu dan usaha yang ulet. Pendidikan yang merupakan aspek dari kebudayaan tidak mudah untuk diubah sebagaimana kebudayaan itu sendiri sulit untuk diubah dalam sekejap mata. Oleh sebab itu, reformasi pendidikan haruslah bertahap dengan memperhitungkan berbagai potensi, kelemahan, kekuatan, dan kemungkinan yang terbuka.
Dengan demikian reformasi pendidikan menuntut adanya perencanaan yang matang dan persiapan yang cukup serta ditopang oleh sumber-sumber yang memadai termasuk komitmen politik masyarakat. Di dalam membangun masyarakat Indonesia baru, masalah-masalah kritis pendidikan yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia dalam jangka menengah antara lain sebagai berikut: (1) pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai demokrasi; (2) pengembangan hak asasi manusia; (3) pemberantasan kemiskinan; (4) pelaksanaan otonomi daerah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
Dalam pengembangan nilai-nilai demokrasi melalui pendidikan berarti nilai-nilai tersebut haruslah menjiwai di dalam seluruh kegiatan pendidikan termasuk sistemnya, kurikulumnya, dan metodologi yang digunakan. Praktek-praktek pendidikan yang indoktrinatif tidak sesuai
dengan tujuan tersebut, juga kurikulumnya yang sangat sentralistik dan mematkan potensi individu. Proses belajar mengajar yang mematikan inisiatif dan berpikir kreatif peserta didik sudah tidak lagi pada tempatnya. Pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-hak asasii manusia. Anak didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Selain itu pendidikan merupakan hak asasi manusia, oleh karena itu pemerataan pendidikan haruslah dilaksanakan secara konsekuen. Pemerataan pendidikan berkaitan dengan kemiskinan,dan oleh sebab itu kemiskinan merupakan priorotas yang perlu ditanggulangi sejalan dengan pelaksanaan pemerataan itu sendiri.Itulah pendidikan, yang pada hakekatnya merupakan suatu proses pemberdayaan yaitu membebaskan individu dari kungkungan suatu struktur kekuasaan yang terpusat, yang menginjak-nginjak hak asasi manusia, yang membangun suatu struktur kekuasaan yang hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat yang menyengsarakan rakyat banyak. Pedagogik pembebasan ialah pedagogik yang memberdayakan peserta didik dalam rangka membangun masyarakat Indonesia baru.

Dari Pedagogik Sempit Menuju Pedagogik Kritis
Pedagogik kritis merupakan rekayasa pemikiran yang berupaya menyempurnakan pedagogik yang selama ini kita kenal sebagai pedagogik dalam paradigma sempit atau pedagogi hitam dalam istilah Kurt Singer, yaitu pedagogik yang cenderung melihat persoalan pendidikan semata-mata sebagai masalah-masalah teknik di dalam kelas. Padahal pendidikan bukanlah semata-mata pembelajaran, namun pendidikan sangat berkaitan pula dengan seluruh aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat.Pendidikan bukan hanya sekedar membuat peserta didik pandai menghapal tetapi yang lebih penting ialah menjadikannya sebagai manusia, atau dalam istilah Driyakarya, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses hominisasi dan proses humanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya kini dan masa depan (Tilaar, 2000:40). Dengan rumusan tersebut, maka pandangan yang sempit mengenai pendidikan akan sulit berfungsi di dalam membangun masyarakat Indonesia baru yang demokratis dan bermoral. Dalam perkembangannya, aliran-aliran pedagogik dapat diidentifikasi menjadi lima aliran besar. Aliran-aliran tersebut memiliki pandangannya sendiri mengenai masa kini dan masa depan masyarakat yang diinginkan. Pertama, aliran fungsionalisme dengan tokohnya Durkheim dan
Parsons. Menurut aliran ini, fungsi pendidikan masa kini adalah transmisi kebudayaan dan mempertahankan tatanan sosial yang ada. Masa depannya dipersiapkan denan mengajarkan fungsi-fungsi dalam masyarakat masa depan. Kedua, aliran kulturalisme dengan tokohnya Brameld dan Ki Hajar Dewantara, melihat fungsi pendidikan masa kini sebagai upaya untuk
merekonstruksi masyarakat. Masyarakat memiliki masalah-masalah yangdihadapi dan upaya pendidikan adalah untuk mengatsi masalah-masalah tersebut seperti identitas bangsa, benturan kebudayaan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan ialah menata masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal dengan berdasarkan budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan nansional dan kebudayaan global seperti teori Trikon dari Ki Hadjar Dewantara. Ketiga, aliran kritikal dengan tokoh-tokohnya Marx, Bowless, Freire, Gyroux, Vygotsky. Bagi aliran kritikalyang terbagi atas penganut teori konflik seperti Marx, Bowels, juga yang menganut teori kritikal seperti Freire, Gyrous, dan Vygotsky. Masa kini fungsi pendidikan dilihat sebagai reproduksi tatanan ekonomi yang sedang berjalan. Sedangkan bagi Freire, Gyroux, dan Vygotsky fungsi pendidikan ialah memberdayakan kaum tertindas (the oppressed). Pembangunan masyarakat masa depan bagi
pedagogik kritikal ditekankan pada pembinaan pemerataan ekonomi dan perjuangan kelas seperti Marx, atau mengembangkan keaksaraan kritikal (critical literacy) bagi rakyat banyak.
Keempat, aliran interpretatif dengan tokohnya Bernstein. Menurut aliran ini tugas pendidikann adalah mengajarkan berbagai peran dalam masyarakat melalui program-program dalam kurikulum. Sedangkan untuk masa depan penndidikan berfungsi untuk menghilangkan berbagai bias budaya dan kelas-kelas sosial yang membedakan antara kelompok elit dan rakyat jelata yang miskin. Kelima, aliran pasca modern dengan tokoh-tokohnya Derrida, Faoucault dan Gramsci. Aliran ini sangat populer dan pikiran-pikiran Derrida, Fsoucault dan Gramsci yang ekstrem cukup mendominasi aliran ini. Menurut aliran ini, fungsi pendidikan ialah membina pribadi-pribadi yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yang kreatif dan berfikir bebas termasuk berpikir produktif. Aliran-aliran pedagogik kritis di atas memiliki suatu kesamaan dalam pembahasannya yakni pemberdayaan individu. Inilah inti darimasyarakat demokratis. Sudah tentu aliran-aliran pedagogik kritis di atas memiliki keterbatasan. Sebagaimana yang diingatkan oleh Amitai Etzioni kebebasan atau otonomi individu bukanlah otonomi tanpa batas tetapi otonomi di dalam keseimbangan dan tatanan sosial yang terkait kepada pengakuan akan nilai-nilai inti (core values) yang diakui bersama. Fungsi pendidikan di dalam masyarakat Indonesia baru ialah bukan pendidikan yang memupuk individualisme yang egoistik, tetapi individu yang berkemban potensinya sehingga dapat disumbangkan sebesar-besarnya bagi kepentingan bersama. Itulah individu yang hidup di dalam masyarakat madani Indonesia, yang memiliki identitas sebagai orang Indonesia sekaligus sebagai manusia yang hidup damai dengan sesama umat manusia di planet bumi ini. Dengan sendirinya pendidikan untuk perdamaian dunia (world space) merupakann salah satu agenda di dalam pendidikan membangun masyarakat Inndonesia baru yaitu masyarakat madani Indonesia.

Orientasi Ke Pendidik
Mengajar (teaching) merupakan kata yang sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah proses pendidikan, mengajar pulalah yang memperoleh kritik pedas dari Paulo Freire dengan model pembelajaran pasif, yakni pendidik menerangkan, peserta didik mendengarkan, pendidik mendiktekan, peserta didik mencatat, pendidik bertanya, peserta didik menjawab, dan seterusnya. Kenyataan seperti ini diistilahkan Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank (banking system), yakni pendidikan model deposito, pendidik sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai pengalamannya kepada peserta didik, sedangkan peserta didik hanya menerima, mencatat dan menyimpan semua informasi yang disampaikan pendidik. Pendidikan gaya bank tersebut merupakan model penindasan terhadap para peserta didik, karena menghambat kreativitas dan pengembangan potensi peserta didik (Elias, 1994:113 dalam Rosyada, 2004:89). Pembelajaran model di atas, oleh Muska Mosston kadangkala disebut sebagai pendidikan gaya komando (command style), yang mengembangkan prinsip distribusi sebuah keputusan harus dilakukan secara hirarkis, dari atas ke bawah, dari guru/pendidik kepada peserta didik(Mosston, 1972:35). Dalam pembelajaran gaya komando, semua perencanaan ditentukan oleh guru/pendidik, disampaikan pada peserta didik, dan peserta didik menerima pelajaran baru. Akan tetapi mereka tidak terlibat dalam proses analisis untuk penerapan pengalaman baru tersebut pada
konteks kehidupan lain, dan lebih jauh lagi, mereka juga tidak terlibat dalam pembahasan feed back buat guru/pendidik. Pembelajaran gaya komando merupakan salah satu bentuk akhir polarisasi aliran behaviorisme, yang kemudian memperoleh kritik karena mematikan semangat demokratisasi dan membunuh kreativitas peserta didik, tidak menghargai peserta didik, dan kurang menghargai keragaman peserta didik (Mosston, 1972:43). Sekaitan dengan hal di atas, kemudian berkembang model task style, yakni belajar dengan memperbanyak penugasan, yang berikutnya diikuti oleh model reciprocal style, yakni belajar antara model penugasan dan instruksional, dan disusul kemudian dengan kemunculan berbagai model seperti collaborative and cooperative learning yang dikembangkan oleh aliran psikologi developmental, yang menekankan pada aktivitas siswa dan dibantu oleh guru atau pendidik.
Dalam konteks aliran ini jelas bahwa kedudukan guru atau pendidik dalam suatu proses pembelajaran bukan lagi sebagai pusat atau sumber dari segala sumber, tetapi lebih diposisikan sebagai mitra yang bertugas membantu dan menfasilitasi peserta didik belajar. Mengenai kedudukan guru atau pendidik dalam suatu proses pembelajaran memang memiliki perjalanan historis cukup panjang mengikuti perkembangan pemikiran yang melahirkan teori tentang belajar. Reposisi kedudukan guru atau pendidik dalam suatu proses pembelajaran mengalami perubahan seiring dengan bergesernya definisi dan paradigm belajar dan pembelajaran. Di awal paruh kedua abad ke-20, mengajar masih diartikan sebagai sebuah proses pemberian bimbingan dan memajukan pembelajar peserta didik yang semuanya dilakukan dengan berpusat pada peserta didik (Kochhar, 1967:24). Pandangan paedagogis di atas sesungguhnya sudah berkembang menuju model pendidikan yang berpusat pada peserta didik, hanya keterlibatan dan pendidik dalam proses pembelajaran masih sangat besar. Inilah bagian-bagian yang kemudian banyak dikritik oleh para ilmuwan pendidikan di akhir abad ke-20, dengan memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada peserta didik untuk belajar. Dari beberapa pandangan tentang pembelajaran diatas, definisi terkini tentang mengajar dan membelajarkan sudah sangat berbasis pada peserta didik, guru/pendidik hanya mengambil peran dalam perancangan untuk memberi peluang pada para peserta didik mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatankesepakatan kelas bersama dengan guru atau pendidiknya. Seiring denganperkembangan dan kemajuan tersebut, tampaknya paradigma behaviorisme sudah mulai dikritik dengan dikembangkannya aliran construktivism sebagai aliran dari psikologi kognitif (Kauchak, 1998:6). Aliran behaviorisme
memandang bahwa belajar adalah mengubah perilaku peserta didik dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan tugasguru/pendidik adalah menontrol stimulus dan lingkungan belajar agarperubahan mendekati tujuan yang diinginkan, dan guru pemberi hadiah atau hukuman pada peserta didik, yakni hadiah diberikan kepada peserta didik yang telah mampu memperlihatkan perubahan bermakna, sedangkan hukuman diberikan kepada peserta didik yang tidak memperlihatkan perubahan bermakna. Karena itu, aliran behaviorism meletakkan proses reinforcement dalam posisi amat penting bagi peserta didik untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Sedangkan aliran psikologi kognitif memandang bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai strategi untuk mencatat dan memperoleh berbagai informasi, peserta didik harus aktif menemukan informasi informasi tersebut, dan guru/pendidik bukan mengontrol stimulus, tetapi menjadi partner peserta didik dalam proses penemuan berbagai informasidan makna-makna dari informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang mereka bahas dan kaji bersama (Kauchak, 1998:6). Aliran constructvism yang dikembangkan dari psikologi kognitif ini menekankan teorinya bahwa peserta didik amat berperan dalam menemukan ilmu baru. Konstruktivisme adalah aliran yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat komponen kunci, yaitu: a. Peserta didik membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan kepada mereka. b. Pelajaran baru sangat bergantung pada pelajaran sebelumnya. c. Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial. d. Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran (Kauchak, 1998:7). Meski memiliki sedikit perbedaan, teori-teori belajar yang berbasis pada teori humanistik tetap memaknasi pembelajaran sebagai proses yang berpusat pada peserta didik, guru/pendidik bertugas membantu bukan mengarahkan seperti halnya pada teori belajar psikologi kognitif. Hanya saja aliran psikologi kognitif lebih menambah fungsi guru/pendidik sebagai pembimbing peserta didik dalam belajar bereksplorasi dan bereksperimen (Mudyahardjo, 1998:7). Mengenai peran guru atau pendidik ini, di banyak tempat di sekolah sekolah di Amerika, guru/pendidik melakukan transaksi kurikulum dengan para peserta didiknya, yakni guru/pendidik menawarkan berbagai kompetensi kepada peserta didik, dan peserta didik memilih serta menentukan sendiri apa yang akan mereka pelajari dengan gurunya. Implikasi dari transaksi tersebut, adalah kajian dari peserta didik di antara sesama mereka untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akan mereka pelajari dalan satu masa tertentu. Inilah yang oleh Aldridgedisebut curriculum as transaction and curriculum as inquiry (Aldridge,2002:77).

Orientasi Ke Peserta Didik
dehumanisasi, meskipun merupakan fakta sejarah yang konkret, bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi akibat tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari tangan-tangan para penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas (Freire, 1968:28). Ungkapan Freire di atas mempertegas perbedaan-perbedaan pedagogis pokok antara conscientizacao dan bentuk-bentuk pendidikan lainnya. Conscientizacao bukanlah teknik untuk transfer informasi, atau bahkan untuk pelatihan keterampilan, tetapi merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial mereka. Conscientizacao mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Pembebasan bermakna transformasi atas sebuah system realitas yang saling terkait dan kompleks, serta reformasi beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi-konsekuensi negatif dari perilakunya. Perbedaan-perbedaan pedagogis pokok antara conscientizacao dan
bentuk-bentuk pendidikan lainnya adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam conscientizacao tidak memiliki jawaban yang telah diketahui sebelumnya. Pendidikan bukanlah pengeoragnisasian fakta yang sudah diketahui sedemikian rupa sehingga orang bodoh melihatnya sebagai sesuatu yang baru. Pendidikan tidak hanya mengajarkan materi kepada peserta didik, tetapi merupakan pencarian jawaban secara kooperatif atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang. Setiap individu memiliki kebenaran yang sama, tetapi berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang harus didefinisikan dan cara mencari jawabannya yang harus diformulasikan. Partisipasi bukanlah merupakan sebuah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses pendidikan.
Didasari oleh pikiran-pikiran Freire tentang conscientizacao dan pendidikan pembebasan bagi kaum tertindas, sangat tepat apabila memposisikan peserta didik dalam kapasitas individu yang memiliki kebebasan untuk berkespresi, mengembangkan potensi kreatifnya, dan pengembangan kapasitas intelektualnya. Peserta didik harus ditempatkan sebagai pusat (center) dari aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Guru/penddik merupakan fasilitator, pembimbing yang menjadi mitra didik peserta didik di dalam kegiatan pembelajaran. Itulah pedagogik pembebasan (Tilaar, 2000:44), ialah pedagogik yang memberdayakan peserta didikdalam rangka membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Dalam koteks ini, pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu perlu dihormati hak-hak asasi manusia. Anak didik bukanlah robot tetapi manusia yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat mandiri dan berpikir kristis. Sekaitan dengan itu, proses pendidikan dan pembelajaran harus diarahkan agar potensi yang ada pada peserta didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai dengan fitrahnya, peserta didik dapat menyumbangkan kemampuannya untuk pengembangan dirinya,pengembangan masyarakat, dan seterusnya untuk negaranya, serta kehidupan umat manusia pada umumnya. Di dalam proses pemberdayaan peserta didik tentunya diperlukan berbagai prasyarat serta prasarana di dalam melaksanakannya. Yang utama, tentunya lingkungan kehidupan peserta didik harus memberikan kesempatanuntuk pengembangan potensinya. Lingkungan tersebut hendaknya
memberikan kesempatan kepada perkembangan peserta didik agar dia tidak terkungkung atau dibatasi dalam suatu tujuan yang telah direkayasakan.Berilah kesempatan kepada peserta didik untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya. Dengan demikian tidak hanya lingkungan yang merupakan sumber daya pendidikan yang harus diperkaya, tetapi jugamanajemen serta para pelaksana proses pendidikan tersebut haruslah sesuaidengan tuntutan kemerdekaan dan hak asasi yang ada dalam peserta didik Sistem pendidikan yang demikian adalah sistem pendidikan yang diarahkan kepada pemberdayaan peserta didik. Pemberdayaan tersebut haruslahmerupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sehingga lingkungan mengkondisikan terbentuknya sikap yang produktif dari peserta didik. Pedagogik pembebasan yang berkembang akhir-akhir ini tidak lain adalah proses pendidikan yang memberdayakan peserta didik, masyarakat, juga negara, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pribadipribadi yang bebas dari segala jenis opperesive, baik penindasan ekonomis, politik, maupun psikis. Intinya, menurut Andrias Harefa (2004:67), visi dasar atau tujuan umum proses pendidikan dan pembalajaran pada esensinya adalah mendampingi manusia sedini mungkin untuk secara bertahap memanusiakan dirinya agar menjadi dewasa dan mandiri, dan kemudian membina hubungan saling bergantung, dalam proses mengaktualisasikan seluruh potensinya menjadi manusia seutuhnya (fully human). Pandanganpandangan mengenai kedudukan peserta didik di dalam proses pembelajaran juga dipertegas oleh teori-teori belajar yang banyak mengkritik teori behaviorisme yang dituduh mematikan kreativitas peserta didik. Misalnya saja, teori belajar humanistik memandang bahwa bentuk pengelolaan pembelajaran berpusat kepada peserta didik dalam pengertian peserta didik bebas memilih, guru atau pendidik hanya berfungsi sebagai pembantu bukan.pembimbing. Demikian pula pandangannya tentang partisipasi, menurut aliran ini partisipasi aktif dari peserta didik diutamakan dan anak belajar dengan bekerja.

Kesimpulan
Adanya kesadaran kolektif untuk menggiring pendidikan ke arah yang lebih baik, telah banyak melahirkan gagasan baru, yang salah satunya adalah pemikiran perlunya orientasi baru dalam pendidikan. Setidaknya dalam perpektif penulis, orientasi yang dimaksud adalah perlunya mengubah paradigma pedagogi dari yang bersifat klasik dan sempit menuju pedagogik kritis. Pedagogik kritis merupakan rekayasa pemikiran yang berupaya menyempurnakan pedagogik yang selama ini kita kenal sebagai pedagogik dalam paradigma sempit, yaitu pedagogik yang cenderung melihat persoalan pendidikan semata-mata sebagai masalah-masalah teknik di dalam kelas. Padahal pendidikan bukanlah semata-mata pembelajaran, namun pendidikan sangat berkaitan pula dengan seluruh aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya sekedar membuat peserta didik pandai menghapal tetapi yang lebih penting ialah menjadikannya sebagai manusia, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah proses hominisasi dan proseshumanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat yang berbudaya kini dan masa depan. Oleh karena itu, perubahan paradigma ini pun tentu berimplikasi pada perlunya reposisi pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan dan pembelajaran.

Daftar Pustaka
Adiwikarta, S. (1988). Sosiologi Pendidikan: Isyu Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: Departemen P dan K.
Harefa, A. (2004). Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas.
Nasution, S. (1995). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Rosyada, D. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model
Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Slavin, RE. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, And Practice. New York: Allen and Bacon.
Smith, WA. (2001). Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Tilaar, HAR. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar, HAR. (2000). Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

No comments:

Post a Comment